Daftar Permainan Tradisional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
Diposkan oleh
Muhamad Nurdin Fathurrohman
Daerah Istimewa Yogyakarta (disingkat DIY) adalah Daerah Istimewa setingkat provinsi di Indonesia yang merupakan peleburan Negara Kesultanan Yogyakarta dan Negara Kadipaten Paku Alaman. Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di bagian selatan Pulau Jawa, dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan Samudera Hindia.
Permainan tradisional atau bahasa Jawanya adalah dolanan adalah permainan tradisional yang mengandung nilai nilai luhur yang mesti dilestarikan. Salah satu caranya adalah mengenalkan permainan khas tradisional ini ke generasi muda, bahkan bisa dimulai dari anak-anak kecil.
Berikut ini kami sampaikan beberapa permainan tradisional dari daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) lengkap dengan sejarah, cara bermain, dan gambarnya:
Adu kemiri adalah permainan tradisional yang pada umumnya permainan dilakukan oleh pria dewasa dengan jumlah pemain minimal dua orang. Fungsi permainan adu kemiri adalah untuk mengisi waktu senggang.
Peralatan yang digunakan:
Buah kemiri yang berjumlah 72 buah.
Papan adu kemiri, berbentuk seperti dhakon terbuat dari kayu dan ditengahnya terdapat sebuah cekungan tempat kemiri yang akan diadu.
Papan kemiri, terbuat dari kayu berbentuk segi empat yang diatasnya terdapat lubang-lubang kecil tempat meletakkan kemiri berjumlah 72 buah. Papan tersebut disangga 4 buah kaki.
Gandhen, alat untuk memukul kemiri yang diadu berbentuk gada atau tongkat biasa.
Cara bermaian
Buah kemiri ditaruh di tempat kemiri. Kemudian kemiri yang akan diadu di tempatkan dalam lubang adu dan ditutup sebilah kayu yang ujungnya dikunci dengan panthek kayu. Kemiri yang ditutup tersebut selanjutnya dipukul dengan gandhen sekeras mungkin agar pecah. Pemenang adalah pemain yang memiliki kemiri yang utuh setelah proses pemukulan tersebut berlangsung.
2. Ancang-Ancang Alis
Ancak-Ancak Alis adalah sebuah permainan tradisional anak-anak Jawa sebagai sarana untuk menciptakan rasa riang gembira, selain itu juga sebagai sarana sosialisasi dan internalisasi sebuah pengetahuan penting dalam kehidupan dunia agraris, yaitu pengetahuan tentang cara dan proses budidaya penanaman padi.
Permainan ancak-ancak alis, mula-mula anak-anak berkumpul untuk bermain bersama, memainkan permainan ancak-ancak alis. Antara anak-anak tersebut dipilih dua orang anak, untuk berperan menjadi lawang seketeng (pintu/ gapura belakang). Cara pemilihan dua orang anak tersebut bisa dilakukan secara aklamasi dengan keputusan bersama atau dilakukan secara berundi, hompimpa.
Setelah itu, jika sudah mendapatkan dua anak yang terpilih untuk menjadi gapura pintu belakang, sebut A dan B, dua anak tersebut berdiri berhadapan kedua tangannya diacungkan ke atas, kemudian kedua telapak tangannya ditepuk-tepukkan, disentuhkan telapak tangan lawan. Telapak tangan kanan bertepuk dengan telapak tangan kiri lawan, dan sebaliknya. Sementara itu, anak-anak yang lain (sebut C dan kawan-kawan) diandaikan sebagai iring-iringan orang desa yang akan pergi ke sawah. Mereka berdiri beriringan, urut dari depan ke belakang, dengan tangan masing-masing memegangi pinggang atau punggung anak yang berada di depannya. Sedangkan anak yang berada pada posisi paling depan, dengan posisi tangan berkacak pinggang. Selanjutnya A dan B mendendangkan tembang ancak-ancak alis yaitu:
"Ancak-ancak alis, si alis kebo janggitan, anak-anak kebo dhungkul, si dhungkul kapan gawene, tiga rendheng, cengenceng gogok beluk, unine pating cerepluk. ula sawa ula dumung gedhene saklumbung bandhung, sawahira lagi apa?"
Sedangakan C dan kawan-kawan berjalan beriringan menerobos kurungan tangan A dan B. Setelah menerobos terowongan, C dan teman-temannya berbelok ke kanan, mengitari anak yang menjadi tiang gapura sisi kanan (A), kemudian masuk ke terowongan lagi lalu berbelok ke kiri, mengitari anak yang menjadi tiang gapura sisi kiri (B), terus masuk ke terowongan lagi, lalu berbelok ke kanan kembali mengitari tiang gapura sisi kanan untuk memasuki gapura lagi, begitu seterusnya. Perjalanan iringiringan C dan teman-temannya seolah-olah membentuk angka delapan, mengelilingi A dan B secara bergantian. Ketika syair tembang sampai pada akhir bait, sampai pada kalimat pertanyaan “sawahira lagi apa” (sawahnya sedang apa), perjalanan C dan teman-teman berhenti, kemudian terjadi dialog sebagai berikut:
C dan teman-teman: Dhog...dhog...dhog...dhog, njaluk lawang (mengetuk....minta pintu)
A dan B: Arep menyang ngendi? (mau ke mana)
C dan teman-teman: Menyang sawah (ke sawah)
A dan B: Sawahe lagi apa (sawahnya sedang apa)
C dan teman-teman: Lagi ngluku (sedang membajak)
Selanjutnya A dan B kembali mendendangkan tembang ancak-ancak alis, sedangkan C dan teman-teman kembali beriring-iringan masuk ke terowongan tangan A dan B, berjalan berbelok ke kanan atau ke kiri, membentuk angka delapan seperti sebelumnya. Setelah lagu habis, C dan teman-teman kembali berhenti di depan pintu gapura (A dan B), selanjutnya kembali berdialog seperti sebelumnya. Bedanya, dalam akhir pertanyaan dari A dan B “sawahira lagi apa” (sawahmu sedang apa), dijawab oleh C dan teman-teman ”lagi ngluku” (sedang membajak); “lagi nggaru” (sedang menggaruk meratakan lahan). Begitu seterusnya, setiap ditanya “sawahira lagi apa”, jawabannya diurutkan: “lagi nyebar” (sedang menebar benih); ”lagi ndhaut” (sedang mencabut bibit); “lagi tandur” (sedang tanam); “lagi nglilir” (sedang mulai hidup); “lagi ijo” (sedang menghijau); “lagi matun” (sedang menyiangi); “lagi meteng” (sedang bunting); “lagi nyanguki” (mulai muncul kuncup bunga); “lagi mecuti” (bakal bulis padi sudah melengkung tapi belum mekar); “lagi ambrol” (sedang berbunga merata); “lagi njebut” (sedang mekar bunga); “lagi mratak” (bakal buah sudah merata); “lagi temungkul” (bulir padi mulai merunduk); “lagi bangcuk” (padi menguning pada ujung bulir); “lagi kuning” (padi sudah menguning); “lagi tuwa” (padi sudah tua); “lagi nyajeni” (saat memberi sesaji). Ketika sampai pada jawaban “lagi nyajeni” (sedang memberi sesaji), C dan teman-teman pura-pura akan pergi ke pasar.
Tembang yang didendangkan ganti lagu II yaitu: Menyang pasar kadipaten leh-olehe jadah manten, menyang pasar Kadipala leh-olehe apa.
Pada saat itu A dan B membuat kesepakatan rahasia tentang pilihan oleh-oleh yang akan ditanyakan kepada C dan teman-teman, misalnya, A adalah gelang B adalah kalung, A buah B roti, A jadah B wajik, dan sebagainya, yang hanya diketahui oleh A dan B. Pada akhir tembang II, ketika sampai pada kalimat “leh-olehe apa” (buah tangannya apa), tangan A dan B saling berpegangan lalu diturunkan untuk mengurung siapa pun yang berada tepat di hadapannya. Anak yang terkurung tersebut kemudian dibisiki, disuruh memilih di antara dua jenis ‘buah tangan’ yang sudah ditetapkan oleh A dan B. Seandainya dua pilihan tersebut adalah “gelang apa kalung”, jika anaknya memilih ‘gelang’, selanjutnya ia menjadi pengikut A, disuruh berdiri di belakang A. Jika memilih ‘kalung’, ia menjadi pengikut B, disuruh berdiri di belakang B. Begitu seterusnya hingga rombongan petani tinggal satu orang. Setelah tembang habis, pada saat A dan B mengurung anak terakhir, terjadi dialog demikian: A dan B: Dikekuru dilelemu dicecenggring digegering. Dadi kidang lanang apa kidang wedok. Yen kidang lanang mlumpata, yen kidang wedok mbrobosa. (dibuat kurus dibuat gemuk dibuat sengsara dibuat sakit. Menjadi kijang jantan atau kijang betina. Kalau kijang jantan melompatlah, kalau kijang betina menyusuplah). (sumber: id.wikipedia.org)
3. Bas Basan
Bas-basan merupakan permainan tradisional yang menggunakan bidang petak-petak semacam papan catur, dan ada yang menyebut dengan nama “Dham dhaman”. Petak-petak dibagi menjadi tiga ruang, dua ruang puncak, dan satu ruang badan. Ruang itu dianggap sebagai daerah kekuasaaan.
Tiap daerah kekuasaan tersebut dihuni oleh satu kelompok, yang terdiri dari 20 prajurit. Masing-masing kelompok prajurit dilambangkan dengan biji sawo (kecik) dan biji asam (klungsu). Cara bermainnya, masing-masing prajurit bergerak maju untuk menyerang daerah lawan, dengan arah jalan ke depan, ke kanan, dan ke kiri, tidak boleh bergerak mundur. Cara membunuh prajurit lawan dengan melompatinya, dan menempati tempat yang kosong. Prajurit yang dilompati berarti mati dan dikeluarkan dari daerah permainan. Bila salah satu kubu prajuritnya habis, berarti kalah. Bila salah satu prajurit bisa menyusup masuk sampai ke daerah puncak lawan, berarti dia menjadi raja, dan kubunya sudah bisa dianggap menang.
4. Bekel
Bekel atau Bola bekel merupakan permainan yang dikenal pula di daerah Jaw tengah, Permainan tradisional ini biasanya dimainkan oleh anak perempuan dengan jumlah pemain 3 sampai 5 orang. Peralatan yang dibutuhkan untuk permainan ini adalah bola karet yang memiliki warna atau motif menarik, dengan ukuran kira-kira sebesar bola pingpong. Selanjutnya dibuthkan pula biji bekel yang terbuat dari kuningan sejumlah 10 biji dan memiliki 4 sisi yang berbeda.
Cara bermain:
Tahap pertama: genggam bola dan biji bekel menjadi satu dan lempar setinggi kurang lebih 30 cm. Setelah bola tersebut turun dan memantul, lepas biji bekel dalam posisi acak. Kemudian lempar kembali bola, lalu ambil biji beket satu per satu, dua-dua, tiga-tiga, dan seterusnya hingga habis.
Tahap kedua, ulangi tahap pertama kemudian balikkan posisi biji bekel hingga menghadap ke atas atau sering dikenal dengan istilah rumah. Setelah itu, balik posisi biji menjadi tengkurap.
Tahap ketiga, ubah kembali posisi biji bekel, ulangi tahap pertama. Kali ini ubah posisi biji bekel hingga sisi yang halus menghadap ke atas. Tahap terakhir, ubah kembali posisinya hingga sisi yang halus menghadap ke bawah.
Permainan bola bekel akan dinyatakan selesai, saat tangan pemain menyentuh biji bekel selain yang sedang ia ambil. Pemain yang lebih dulu menyelesaikan permainan, dialah yang pemenangnya.
5. Benthik / Benthong
Bhentik/Bentik (Gatrik) adalah salah satu permainan rakyat yang biasanya dimainkan oleh anak-anak. Untuk memainkannya diperlukan dua ranting kayu yang berukuran panjang sekitar 30 cm (disebut “benthong”), dan yang berukuran pendek sekitar 10 cm (disebut “janak”). Pada umumnya, antara benthong dan janak memiliki diameter yang sama, yaitu sekitar 1 cm; bahkan umumnya benthong dan janak diambil dari ranting dengan jenis pohon dan batang yang sama. Saat kedua ranting ini beradu (dipukulkan) maka muncul suara “thik ... thik”, sehingga berdasarkan proses onomatope permainan ini disebut “Benthik”. Ranting panjang dipergunakan untuk memukul ranting yang lebih pendek.
Benthik diawali dengan membuat lowakan atau ceruk kecil di tanah tempat janak akan diletakkan, posisinya melintang di atasnya. Permainan benthik diawali dengan hompimpa. Yang menang, maka akan memperoleh giliran main yang pertama. Sedangkan pihak yang kalah jaga.
Nyuthat - Selanjutnya, pemain memasang tongkat yang pendek diatas lubang luncur secara melintang. Lalu, tongkat janak harus didorong sekuat tenaga dengan bantuan benthong, supaya dapat melambung sejauh mungkin. Dalam bahasa Jawa, ini disebut dengan istilah nyuthat. Bila lawan berhasil menangkap janak yang melambung tersebut, maka ia akan mendapatkan angka. Pihak lawan biasanya akan berusaha mati-matian untuk dapat menangkap janak, agar mendapatkan angka sebelum gilirannya untuk bermain.
Besarnya angka ditentukan dari cara pihak lawan menangkap janak; 10 angka untuk menangkap dengan kedua tangan, 25 angka untuk menangkap dengan tangan kanan saja, dan 50 angka apabila berhasil menangkap dengan tangan kiri saja.
Namplek - Tahap kedua dari permainan benthik adalah ”Namplek”. Pada tahap ini, konsentrasi penuh diperlukan. Pemain harus melempar tongkat pendek ke udara terlebih dahulu, lalu dipukul sekuat tenaga dengan tongkat panjang sejauh mungkin. Pihak lawan yang jaga harus melempar tongkat pendek ke arah sang pemain. Di sini, ketangkasan sang pemain benar-benar diuji apakah mampu memukul balik tongkat pendek atau tidak.
Penghitungan poin bagi sang pemain dilakukan dari tempat jatuhnya tongkat pendek ke lubang menggunakan tongkat panjang. Semakin jauh tongkat pendek jatuh, maka semakin banyak angka yang akan didapatkan.
Nuthuk - Tahap ketiga benthik disebut ”Nuthuk”. Pada tahap ini, pemain harus meletakkan tongkat pendek pada lereng lubang luncur dengan posisi miring 45 derajat. Ia harus memukul ujung tongkat pendek yang menyembul ke permukaan tanah dengan tongkat panjang agar dapat mengudara, lalu dipukul lagi sejauh mungkin.
Biasanya, sang pemain akan mendapatkan kesempatan kedua, bila pukulan pertama tidak berhasil. Jika ternyata masih gagal lagi, maka giliran bermain jatuh ke tangan pihak lawan. Akan tetapi, dalam tahap ketiga ini, sang pemain berkesempatan untuk mengumpulkan poin sebanyak-banyaknya yang ditentukan oleh berapa kali ia memukul tongkat pendek. Nah, tahap ini merupakan kesempatan untuk mengejar ketertinggalan angka atau untuk bisa memenangkan permainan. Kecekatan berhitung para pemain pun dituntut di sini. Bila sang pemain berhasil memukul tongkat pendek saat tongkat tersebut melayang di udara, maka ia memperoleh multiple poin yang dihitung dari perkalian antara angka pengkali berdasarkan jumlah pukulan (10 poin untuk satu kali pukulan, 20 poin untuk dua kali pukulan, dan seterusnya) dengan poin yang dihitung dari tempat jatuhnya tongkat pendek ke arah lubang. Sebagai ilustrasi, seorang pemain berhasil memukul tongkat pendek dua kali, maka ia memperoleh angka pengkali sebesar 20 poin, sedangkan jarak jatuhnya tongkat pendek ke lubang adalah 15 kali tongkat panjang. Maka total poin yang ia kumpulkan dalam tahap ini adalah 20x15=300. Cukup besar bukan? Ketiga tahap permainan Benthik tersebut akan diulangi dari awal dalam beberapa kali putaran sesuai kesepakatan diantara para pemainnya. Pemain yang menang adalah yang berhasil mengumpulkan poin terbanyak dalam ketiga tahap di atas. Yang tak kalah menarik di sini adalah adanya hukuman bagi yang kalah, misalnya kewajiban menggendong pemain yang menang oleh pemain yang kalah dari satu tempat ke tempat lainnya.
6. Cublak-Cublak Suweng
Cublak-cublak Suweng adalah salah satu permainan disertai lagu pengiring yang dinyanyikan. Lagu pengiring dalam permainan ini berjudul sama dengan nama permainan itu sendiri yaitu cublak-cublak suweng. Permainan tradisional cublak-cublak suweng biasa dimainkan oleh anak-anak kecil di pedesaan dari Pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan juga Jawa Timur.
Dalam permainan ini diawali dengan hompimpa atau gambreng untuk menentukan siapa yang kalah pertama kali. Setalah itu ia yang kalah akan berperan menjadi Pak Empong, yang berbaring terlungkup ditengah dan anak-anak yang lain akan duduk melingkari Pak Empong. Kemudian mereka yang melingkari Pak Empong membuka telapak tangan menghadap ke atas dan diletakkan di punggung Pak Empong. Lalu ada salah satu anak memegang biji/kerikil dan dipindah dari telapak tangan satu ke telapak tangan lainnya diiringi lagu Cublak-cublak Suweng.
Dhakon adalah suatu permainan tradisional yang dikenal dengan berbagai macam nama di seluruh Indonesia. Biasanya dalam permainan, sejenis cangkang kerang digunakan sebagai biji congklak dan jika tidak ada, kadang kala digunakan juga biji-bijian dari tumbuh-tumbuhan dan batu-batu kecil.
Di Jawa, permainan ini lebih dikenal dengan nama congklak, dakon, dhakon atau dhakonan. Di beberapa daerah di Sumatra yang berkebudayaan Melayu, permainan ini dikenal dengan nama congkak. Di Lampung, permainan ini lebih dikenal dengan nama dentuman lamban, sedangkan di Sulawesi permainan ini lebih dikenal dengan beberapa nama: Mokaotan, Maggaleceng, Aggalacang dan Nogarata.
Permainan congklak dilakukan oleh dua orang. Dalam permainan mereka menggunakan papan yang dinamakan papan congklak dan 98 (14 x 7) buah biji yang dinamakan biji congklak atau buah congklak. Umumnya papan congklak terbuat dari kayu dan plastik, sedangkan bijinya terbuat dari cangkang kerang, biji-bijian, batu-batuan, kelereng atau plastik. Pada papan congklak terdapat 16 buah lubang yang terdiri atas 14 lubang kecil yang saling berhadapan dan 2 lubang besar di kedua sisinya. Setiap 7 lubang kecil di sisi pemain dan lubang besar di sisi kananya dianggap sebagai milik sang pemain.
Pada awal permainan setiap lubang kecil diisi dengan tujuh buah biji. Dua orang pemain yang berhadapan, salah seorang yang memulai dapat memilih lubang yang akan diambil dan meletakkan satu ke lubang di sebelah kanannya dan seterusnya berlawanan arah jarum jam. Bila biji habis di lubang kecil yang berisi biji lainnya, ia dapat mengambil biji-biji tersebut dan melanjutkan mengisi, bila habis di lubang besar miliknya maka ia dapat melanjutkan dengan memilih lubang kecil di sisinya. Bila habis di lubang kecil di sisinya maka ia berhenti dan mengambil seluruh biji di sisi yang berhadapan. Tetapi bila berhenti di lubang kosong di sisi lawan maka ia berhenti dan tidak mendapatkan apa-apa.
Permainan dianggap selesai bila sudah tidak ada biji lagi yang dapat diambil (seluruh biji ada di lubang besar kedua pemain). Pemenangnya adalah yang mendapatkan biji terbanyak. (sumber: Wikipedia)
Tahap pertama, semua pemain berdisi berhadap-hadapan dengan tangan saling bergandengan. Misalkan pemain tersebut adalah A, B, C, dan D tahap kedua, B dan C menerobos (mbrobos) di bawah lengan A dan B, sehingga para pemain berdiri dengan saling bertolak belakang dan tangan tetap bergandengan.
Tahap kedua, setiap peserta mengangkat salah satu kakinya ke arah dalam lingkaran, kemudian masing-masing kaki saling dikaitkan untuk membentuk suatu posisi yang kokoh sehingga tidak akan mudah jatuh.
Tahap terakhir, tangan yang saling bergandengan dilepaskan, lalu kedua tangan bertepuk tangan. Para pemain melonjak-lonjak sambil bertepuk menyanyikan lagu : Pasang dhingklik oglak-aglik, yen kecelik adang gogik, yu yu mbakyu mangga dhateng pasar blanja, leh olehe napa, jenang jagung enthok-enthok jenang jagung, enthok-enthok jenang jagung, enthok-enthok jenang jagung. Lirik lagu ini dinyanyikan sepanjang permainan. Tidak menutup kemungkinan, kaitan kaki sudah terlepas ketika lagu belumselesai dinyanyikan, maka selesai sudah permainan ini.
Meskipun permainan ini tidak memerlukan perlengkapan apa pun untuk menunjang jalannya permainan, namun memerlukan tempat yang cukup luas agar terjadi keseimbangan dan kekompakan diantara para pemain dalam membentuk dhingklik.
9. Engklek
Engklek adalah salah satu permainan dari Jawa Tengah yang dimainkan dengan menggambar garis di atas tanah atau media lain. Permainan Engklek juga merupakan salah satu permainan yang sangat di gemari oleh kalangan perempuan. Permainan engklek juga dikenal di daerah lain, Di Provinsi Banten dikenal dengan nama Jingklong, Di Aceh namanya Ingke.
Cara bermain - Peserta permainan ini melompat menggunakan satu kaki disetiap petak-petak yang telah digambar sebelumnya di tanah.
Untuk dapat bermain, setiap anak harus berbekal gacuk yang biasanya berupa sebentuk pecahan genting, yang juga disebut kreweng, yang dalam permainan, kreweng ini ditempatkan di salah satu petak yang tergambar di tanah dengan cara dilempar, petak yang ada gacuknya tidak boleh diinjak / ditempati oleh setiap pemain, jadi para pemain harus melompat ke petak berikutnya dengan satu kaki mengelilingi petak-petak yang ada.
Pemain yang telah menyelesaikan satu putaran terlebih dahulu, berhak memilih sebuah petak untuk dijadikan "sawah" mereka, yang artinya di petak tersebut pemain yang bersangkutan dapat menginjak petak itu dengan kedua kaki, sementara pemain lain tidak boleh menginjak petak itu selama permainan. Peserta yang memiliki kotak paling banyak adalah yang akan memenangkan permainan ini.
10. Egrang
Egrang (Enggrang) adalah permaianan anak-anak yang menggunakan sepasang galah atau tongkat yang digunakan seseorang agar bisa berdiri dalam jarak tertentu di atas tanah. Di Jawa Barat, Egrang dikenal dengan nama Jajangkungan.
Cara memainkan : Kedua kaki menginjak titian yang terdapat pada masing masing bambu, kemudian langsung dibgunakan untuk berjalan.
Enggrang dibuat dari dua batang kayu atau bambu yang panjangnya masing-masing sekitar dua meter. Kemudian sekitar 50cm dari alas bambu/kayu tersebut dilubangi lalu dimasukkan bambu dengan ukuran 20-30cm atau dipakukan kayu yang berfungsi sebagai pijakan kaki. Permainan ini membutuhkan konsentrasi yang tinggi. Untuk itu diperlukan kehati-hatian agar tidak terjatuh.
11. Gamparan
Gamparan adalah permainan tradisional anak-anak yang menggunakan batu sebagai sarana permainannya. Permainan ini dilakukan secara berpasangan atau berkelompok, sehingga pemain harus berjumlah genap. Biasanya permainan ini dimainkan oleh anak laki-laki yang rata-rata berusia 10 sampai 14 tahun. Mereka terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang mentas (main dahulu), dan kelompok dadi atau nggasang. Permainan ini dimainkan di halaman terbuka yang cukup datar dan rata, dapat ditanah yang masih alami atau yang sudah diperkeras dengan luas kira-kira 3x6 m. Jenis batu yang digunakan ada dua macam, batu kecil sebagai alat pelempar (gacok) dan batu yang agak besar sebagai sasarannya (gasangan).
Cara bermain - Permainan gamparan dilakukan dengan beberapa tahap untuk mencapai suatu kemenangan. Misal pemain terdiri dari A,B,C dan D telah membawa peralatannya yang berupa batu sebagai gacuk dan gasangan, kemudian mereka membuat garis batas gasangan dan garis batas melempar batu (saku) dan kurang lebih 15 langkah kaki ( 6 m ), serta garis batasa nggampar 2 m dari garis batas gasangan. Untuk menentukan siapa yang main duluan dengan cara diundi (hom ping sut) untuk setiap pasangan pemain, yang kalah dalam undian bertindak sebagai penjaga batu gasangan (nggasang).
12. Gasing
Gasing Sragen
Gasing (atau juga disebut Gangsing) adalah mainan yang bisa berputar pada poros dan berkesetimbangan pada suatu titik. Gasing merupakan mainan tertua yang ditemukan di berbagai situs arkeologi dan masih bisa dikenali. Selain merupakan mainan anak-anak dan orang dewasa, gasing juga digunakan untuk berjudi dan ramalan nasib.
Sebagian besar gasing dibuat dari kayu, walaupun sering dibuat dari plastik, atau bahan-bahan lain. Kayu diukir dan dibentuk hingga menjadi bagian badan gasing. Tali gasing umumnya dibuat dari nilon, sedangkan tali gasing tradisional dibuat dari kulit pohon. Panjang tali gasing berbeda-beda bergantung pada panjang lengan orang yang memainkan.
Di Jawa Tengah, khususnya di Demak, biasanya gasing dimainkan saat pergantian musim hujan ke musim kemarau.
13. Gatheng
Gatheng atau permainan Gathengan merupakan permainan tradisional asal Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Cara bermain Gatheng mirip dengan cara bermain bola bekel atau bekelan, namun permainan Gatheng tidak menggunakan bola. Gatheng menggunakan batu sebagai alatnya. Batu tersebut dinamakan watu gatheng yang berarti batu gatheng. Ukuran watu gatheng tidak terlalu besar, kira-kira sekitar 1 cm, seukuran dengan batu kerikil.
Gatheng sudah ada sejak lama, kira-kira pada zaman Mataram (abad XVII). Putra raja Mataram pada saat itu, Raden Rangga, memiliki alat bermain watu gatheng yang berukuran lebih besar dari watu gatheng biasa. Besarnya batu tersebut membuktikan betapa saktinya Raden Rangga. Watu gatheng yang diyakini milik Raden Rangga tersebut, sekarang masih tersimpan di Kotagede, Yogyakarta.
Gatheng dapat dimainkan secara perorangan maupun dalam kelompok kecil (3 – 4 orang). Kebanyakan yang bermain Gatheng adalah anak-anak perempuan. Namun seiring perkembangan zaman, Gatheng telah menjadi permainan umum, dimainkan oleh anak-anak perempuan ataupun laki-laki. Gatheng dapat dimainkan dimana saja dan tidak memerlukan tempat yang luas, asalkan tempat tersebut memiliki permukaan yang rata.
Cara bermain:
Permainan Gathengan memerlukan 5 buah batu kerikil. Anak-anak yang akan bermain Gatheng akan duduk melingkar dan menentukan urutan bermain dengan hompimpah. Terdapat beberapa tahapan dalam permainan Gathengan. Setiap pemain harus menyelesaikan tahapan-tahapan tersebut untuk menang. Tahapan tersebut antara lain:
5 kerikil disebar di lantai. Kemudian pemain mengambil satu kerikil. Kerikil tersebut dilempar ke atas. Selama kerikil pertama masih berada di udara, pemain harus mengambil satu kerikil yang bertebaran tanpa menyentuh 3 kerikil lainnya. Jika kerikil yang dilempar bisa tertangkap, maka selanjutnya kerikil kedua dilempar ke udara untuk mengambil kerikil ketiga. Begitu seterusnya sampai semua kerikil dapat diambil. Apabila kerikil tidak tertangkap atau jatuh, maka pemain dianggap mati. Setelah semua kerikil terambil, kemudian terikil tersebut disebar lagi di lantai.
Tahapan ini hampir sama dengan tahapan pertama. Bedanya pada tahapan ini, ketika satu kerikil dilempar, pemain harus bisa mengambil dua buah kerikil sekaligus lalu mengambil kerikil yang dilempar. Kemudian satu buah kerikil dilempar lagi untuk mengambil dua buah kerikil yang tersisa. Setelah itu kerikil disebar.
Tahapan ini pun hampir sama dengan kedua tahapan sebelumnya. Pada tahapan ini, ketika satu kerikil dilempar, pemain harus bisa mengambil tiga buah kerikil sekaligus. Kemudian pemain melempar satu kerikil lagi untuk mengambil satu buah kerikil yang tersisa. Setelah itu kerikil disebar.
Pada tahapan ini, ketika satu kerikil dilempar, pemain harus mengambil empat buah kerikil sekaligus.
Pemain memegang kelima kerikil, lalu sebuah kerikil dilempar. Saat kerikil yang dilempar berada di udara, keempat kerikil lainnya dijatuhkan ke lantai, kemudian menangkap kerikil yang dilempar tadi.
Jika telah menyelesaikan tahapan-tahapan di atas, maka disebut Sawah satu. Pemenang ditentukan berdasarkan banyaknya sawah. (Sumber: https://budaya-indonesia.org/Gatheng)
14. Gejogan
Gejogan adalah sebuah permainan musik rakyat yang dimainkan dengan irama lesung-alu yang terdiri dari dari seperangkat alat penumbuk padi. Permainan musik ini biasanya dimainkan pada saat musim panen. Permainan musik ini juga diperdengarkan dalam upacara numplak wajik. Sampai sekarang permainan musik ini masih dilestarikan oleh masyarakat pedesaaan untuk mensyukuri hasil panenan di daerah pedalaman Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah.
15. Gembatan / Boy-Boyan
Boy boyan merupakan permainan yang dapat ditemukan di daerah Jawa Barat khususnya sunda dan DIY. Permainan ini biasanya dimainkan oleh dua grup, satu grup nya bisa berisi satu orang atau lebih. Alat yang digunakan dalam permainan ini adalah beberapa pecahan genting atau keramik dan bola tenis/kasti, membuat sendiri dari buntalan kertas yang dilapisi plastik yang diikat dengan karet gelang, empuk dan tidak keras sehingga tidak melukai.
Cara memainkannya adalah dengan menyusun keramik atau genting tersebut keatas sampai membentuk susunan yang rapih dan kokoh. Kemudian salah seorang dari salah satu tim melemparkan bola tersebut dari jarak dua hingga 3 meter ke arah genting tersebut. Jika bola berhasil mengenai genting dan berhasil merobohkan genting tersebut maka tim tersebut harus berlari jangan sampai terkenal bola yang akan dilemparkan oleh lawan. tim yang berhasil berubuhkan genting tersebut harus berlari sambil menyusun genting sampai sempurna sesekalli. Jika tim yang merubuhkan genting berhasil menyusun genting sampai sempurna dengan tersisa pemain yang belum dikenai bola minimal satu orang maka tim tersebut menang. Tapi apabila semua anggota sudah mati terkena lemparan bola dari lawan sebelum genting berhasil disusun dengan sempurna maka tim lawan lah yang menang.
16. Genukan
Genukan merupakan permainan tradisional anak-anak yang dimainkan oleh anak-anak perempuan Yogya. Pemain ini terdiri atas dua kelompok, yaitu kelompok kanan dan kelompok kiri. Salah seorang pemain menjadi genuk (istilah untuk menyebut tempat penyimpanan beras) yang berdiri di antara kedua kelompok tersebut.
Kelompok kanan berada di sebelah kanak genuk, dan kelompok kiri berada di sebelah kiri genuk, masing-masing berjarak sepuluh langkah atau lebih. Tiap kelompok terdiri atas lima orang atau lebih. Cara bermainnya, masing-masing harus diundi, yang bermain dahulu adalah yang menang undian. Salah seorang dari pemain yang menang undian tampil mendekat kepada genuk dan menyebut nama salah seorang anggota lawan, kemudian kembali ke kelompoknya. Salah seorang dari kelompok lawan berganti tampil mendekat kepada genuk. Kalau pemain yang tampil tersebut adalah nama yang disebut tadi, maka kelompok lawan berarti kalah. Kelompok yang kalah harus menggendong kelompok yang menang secara bolak-balik. Demikian seterusnya.
17. Gobag Sodor
Gobak sodor atau galah asin adalah sejenis permainan daerah dari Indonesia. Permainan ini adalah sebuah permainan grup yang terdiri dari dua grup, di mana masing-masing tim terdiri dari 3 - 5 orang. Inti permainannya adalah menghadang lawan agar tidak bisa lolos melewati garis ke baris terakhir secara bolak-balik, dan untuk meraih kemenangan seluruh anggota grup harus secara lengkap melakukan proses bolak-balik dalam area lapangan yang telah ditentukan.
Permainan ini biasanya dimainkan di lapangan bulu tangkis dengan acuan garis-garis yang ada atau bisa juga dengan menggunakan lapangan segiempat dengan ukuran 9 x 4 m yang dibagi menjadi 6 bagian. Garis batas dari setiap bagian biasanya diberi tanda dengan kapur. Anggota grup yang mendapat giliran untuk menjaga lapangan ini terbagi dua, yaitu anggota grup yang menjaga garis batas horisontal dan garis batas vertikal. Bagi anggota grup yang mendapatkan tugas untuk menjaga garis batas horisontal, maka mereka akan berusaha untuk menghalangi lawan mereka yang juga berusaha untuk melewati garis batas yang sudah ditentukan sebagai garis batas bebas. Bagi anggota grup yang mendapatkan tugas untuk menjaga garis batas vertikal (umumnya hanya satu orang), maka orang ini mempunyai akses untuk keseluruhan garis batas vertikal yang terletak di tengah lapangan. Permainan ini sangat mengasyikkan sekaligus sangat sulit karena setiap orang harus selalu berjaga dan berlari secepat mungkin jika diperlukan untuk meraih kemenangan.
18. Jamuran
Jamuran adalah permainan yang berasal dari Pulau Jawa. Jamuran bisa dimainkan anak-anak yang berjumlah 4-12. Jamuran biasanya diadakan di waktu sore dan malam saat Bulan Purnama. Anak-anak yang ikut bermain umurnya diantaranya 6 sampai 13 tahun. Bermain jamuran bisa dimainkan oleh anak lelaki, anak perempuan atau campuran.
Cara bermain
Contohnya yang bermain berjumlah 10 orang (A, B, C, D, E, F, G, H, I, J), lalu diundi dengan (bahasa Jawa: Pingsut), siapa yang kalah akan jadi. Contohnya yang jadi J, lalu A, B, C, D, E, F, G, H, I membentuk barisan yang berbentuk lingkaran, memutari J yang ada di tengah. Lalu A sampai I tadi berjalan berputar memutari J, sambil menyanyikan lagu jamuran.
Cara bermainnya, satu orang mejadi pancer ( pusat ), dan pemain yang lainnya bergandengan tangan membentuk lingkaran mengelilingi pancer tersebut. Mereka berjalan berputar, mengelilingi pancer sambil bernyanyi. Lagunya adalah :
Kemudian sang pancer menjawab jenis jamur sesuka hatinya. Misalnya sang jamur menjawab jamur payung, maka para pemain harus berdiri tegak dengan tangan terbuka. Kemudian sang pancer menggelitik ketiak mereka satu persatu, apabila salah seorang dari mereka tidak tahan, dia berganti menjadi pancer. Misalnya lagi setelah bernyanyi jamuran, dan sang pancer menjawab jamur kethek nenek yang artinya jamur monyet sedang memanjat, maka para pemain lainnya harus segera lari mencari pohon untuk tempat memanjat. Kemudian sang pancer menangkap salah seorang pemain yang tidak memanjat atau belum sempat memanjat, dan yang tertangkap tersebut berganti menjadi pancer. Di dalam istilah Jawa, sang pancer disebut juga bocah sing dadi ( anak yang jadi ).
19. Jeg-Jegan / Bentengan
Permainan bentengan sangat dikenal oleh hampir seluruh provinsi di Indonesia, tak terkecuali di daerah Jawa Tengah. Permainan ini dimainkan oleh dua kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 4-10 orang. Setiap kelompok memiliki sisi yang dijadikan sebagai 'benteng', bisa berupa tembok, tiang, atau pohon. Karena menggunakan aktivitas fisik, permainan ini membutuhkan area bermain yang luas.
Dalam bermain Bentengan, setiap anggota punya peran dan tugas masing-masing, ada yang menjadi penyerang, pemain bertahan, dan ada juga yang bertugas sebagai pengalih.
Tujuan akhir dari Bentengan adalah dengan menyentuh benteng lawan. Kelompok yang menjadi pemenang adalah mereka yang lebih dulu menggapai benteng lawan. Selain itu, kemenangan juga bisa diraih dengan menangkap seluruh anggota lawan dengan cara menyentuh bagian tubuh mereka.
20. Kelereng
Permainan gundu atau kelereng merupakan permainan tradisional Jawa yang hingga kini masih cukup sering dimainkan. Permainan ini mempunyai banyak sekali variasi, namun yang paling sering dimainkan adalah permainan gundu lingkar.
Cara bermain:
Pertama-tama dibuatlah gambar lingkaran kecil di tanah. Semua anak menaruh sebutir kelereng di dalam lingkaran.
Lalu semua anak berdiri kira-kira satu meter dari lingkaran, di belakang sebuah garis. Secara bergantian, lemparkan sebutir kelereng lainnya ke arah lingkaran. Anak yang kelerengnya paling jauh dari lingkaran, boleh main lebih dulu.
Dia harus memakai kelereng yang ada di luar lingkaran sebagai “Penyerang” untuk memukul kelereng di dalam lingkaran keluar. Kalau berhasil melakukannya, maka ia boleh menyimpan setiap kelereng yang kena jentik.
Cara menjentik kelereng: pertemukan ibu jari dengan jari tengah. Sentilkan kedua jari tepat pada gundu.
Kelereng “Penyerang” harus tetap tinggal di dalam lingkaran. Kalau tidak, maka anak yang memilikinya akan kehilangan kelereng tersebut.
Pemenang adalah anak yang mengumpulkan kelereng atau gundu terbanyak.
21. Layang-Layang
Layang-layang merupakan permainan anak-anak yang hampir ada di seluruh daerah di Indonesia. Layang-layang terbuat dari buluh/bambu yang diraut dan titimbang dengan benang, nantinya ditempeli kertas tipis. Layang-layang ini akan diterbangkan menggunakan tali atau benang.
22. Lepetan
Lepetan adalah permaian tradisional Yogya yang dimainkan oleh anak-anak perempuan. Untuk memainkannya, terlebih dahulu anak-anak berbaris dan bergandengan tangan. Kemudian seorang berpegangan pada pohon sebagai pangkal. Kemudian dari pemain ujung menyusup ke ketiak pangkal dan seterusnya, hingga semua pemain kedua tangannya mendekap pada dada. Pemain ujung melepaskan diri, kemudian seolah-olah ia membagi-bagikan nasi dengan lauk, sambil berkata Nya sega nya sega nya lawuhe, yang artinya ini nasi, ini nasi ini lauknya. Dan pada giliran paling akhir si pembagi berkata Enya wakule, yang artinya Ini bakulnya Anak yang menerima bakul tersebut, dalam permainan berikutnya berganti menjadi pembagi dan berada paling ujung.
23. Lintang Alihan
Permainan Lintang Alihan atau Lintang Ngalih adalah jenis permainan tradisional anak-anak yang cara memainkannya meniru bintang yang berpindah tempat. Nama perainan ini mempunyai arti bintang bersinar yang tampak berpindah. Jumlah pemain tidak terbatas, namun agar permainan ini semakin meriah, dibutuhkan jumlah pemain minimal 15 anak. Permainan ini dilakukan oleh banyak anak dan melakukan kejar-kejaran, maka permainan ini membutuhkan tempat yang luas dan terbuka seperti di tanah lapang, di halaman rumah, atau di halaman sekolah.
Cara bermainnya, pertama-tama semua pemain berkumpul, kemudian diundi dengan cara hom pim pah dan ping sut untuk menentukan pemain yang harus dadi (jadi). Misalkan A yang harus dadi, maka anak-anak yang lainnya segera berlari untuk mencari pasangan berdua-dua. A yang dadi mengejar salah seorang pemain yang masih sendirian karena belum mendapat pasangan. Masing-masing pasangan ini harus tetap waspada karena sewaktu-waktu akan ada orang yang dating (menclok), sehingga salah satu dari mereka harus lari mencari pasangan, maka A harus segera lari menjauhi pemain tersebut untuk mencari pasangan atau menclok pada satu pasangan pemain lainnya. Demikian seterusnya, permainan dilanjutkan sampai para pemain bosan.
24. Lompat Tali
Permainan Lompat Tali adalah permainan tradisional yang hampir ada di seluruh indonesia. Permainan tradisional yang satu ini terbilang sangat sederhana. Hanya dengan seutas tali, anak-anak dapat tertawa bahagia dengan teman seusianya. Permainan Tali ini tidak membutuhkan biaya banyak untuk memainkannya. Biasanya dimainkan oleh anak perempuan.
Permainan ini dapat dilakukan ditempat yang memiliki ruang cukup luas, seperti di halaman rumah, halaman sekolah dan sebagainya. Peralatan yang dibutuhkan untuk permainan ini hanya membutuhkan seutas tali dengan ukuran panjang tali melihat dari berapa banyak pemain.
Untuk ukuran normalnya dengan minimal 5 pemain dibutuhkan panjang tali kurang lebih 3 meter. Untuk tali yang digunakan bisa terbuat dari karet gelang yang disambung sampai memanjang. Jumlah pemain untuk memainkan permainan tali tidak ada batasan. Jumlah minimal pemain untuk permaian ini ada 3 pemain. Permainan ini dimainkan dengan cara memutar seutas tali yang dilakukan oleh dua anak di setiap ujung talinya. Pada saat tali diputar pemain secara bergiliran masuk dan melompat dalam putaran tali. Pemain dinyatakan kalah jika gagal melewati putaran tali. Pemain yang gagal melewati putaran tali maka harus bergantian dengan pemain yang bertugas menjadi pemutar tali.
25. Paseran
Paseran adalah permainan panahan mainan yang berukuran kecil. Paser berupa anak panah yang terbuat dari kawat baja dengan ukuran sekitar 18-22,5 cm. Pada bagian belakang terdapat daun yang terbuat dari kertas warna-warni.
Kemudian diletakkanlah orang-orangan yang digantung pada sebuah kawat yang dibentangkan pada dua buah tiang. Orang-orangan ini diletakkan dengan jarak sekitar 10 meter dari pemain. Para pemain berduduk sila dan kemudian membidik dan melemparkan paser ke sasaran. Sasaran pada boneka orang-orangan adalah bagian kepala, leher, dada, kendil dan bagian bawah. Bagian kepala memiliki nilai tertinggi. Para pemain umunya adalah laki-laki. Biasanya paseran ini dilakukan pada waktu senggang di sore hari.
26. Petak Umpet
Petak umpet adalah permainan anak internasional yang dikenal sebagai delikan di Jawa. Di Indonesia, orang Sunda menyebutnya Ucing Sumput. Di Jawa, petak umpet bisa dilakukan dengan melibatkan minimal dua pemain, meski bakal lebih seru jika melibatkan lebih dari tiga orang.
Permainan diawali dengan undian denghan hompimpa untuk menentukan siapa yang menjadi penjaga benteng sekaligus pencari pemain lain yang bersembunyi.
Kemudian penjaga benteng menutup mata dan menghitung sesuai kesepakatan, pemain lain mulai mencari tempat aman untuk bersembunyi.
Begitu hitungan selesai, penjaga mulai mencari pemain yang ndelik (bersembunyi), saat menemukan pemain lain yang ditemukan dia harus segera menuju benteng sembari meneriakkan nama pemain itu. Masing-masing daerah di Jawa punya sebutan sendiri saat tangan menyentuh benteng.
Penjaga harus beradu lari dengan pemain yang ketahuan, karena kalau pemain tiba lebih dulu, dia lolos dari kemungkinan menjadi penjaga selanjutnya. Penjaga harus mencari semua pemain atau menyerah dan mengatakannya keras-keras.
Pemain yang "tertangkap" penjaga kemudian melakukan hompimpa untuk menentukan siapa penjaga selanjutnya. Begitu seterusnya! Permainan baru selesai ketika hari menjelang senja.
27. Sobyang
Sobyang adalah permainan tradisional anak-anak yang dimainkan dengan cara meregangkan tangan dengan diiringi lagu sobyang, disertai suatu macam hitungan : jan, nak, udeng (banding), urang, keeper”. Permainan ini dimainkan oleh lima anak, sehingga tidak membutuhkan ruang yang luas.
Cara bermain
Dalam prosesnya, permainan ini terdiri dari tiga tahap, yang masing-masing tahap diiringi lagu tersendiri.
Tahap I (menghitung), lagunya : “sobyang awing-awang, jangan pare, abang kaya dubang, putih kaya upih, manuk glathik lurik dhadhane, srentek –srentek lembehane, ditututi ing anake”. Sebelumnya masing-masing memperkenalkan nama diri masing-masing, misalnya A=jan, B=nak,C=udeng, D=urang, dan E == keeper. Mereka duduk secara berhadapan-hadapan dalam posisi melingkar. Kemudian bersamaan mereka mengucapkan kata “sobyang” sambil mengangkat kedua tangannya dan segera meletakan telapak tangannya. Di sini tidak ada ketentuan mengenai jumlah jari yang harus diperlihatkan. Namun salah seorang pemain hanya memperlihatkan satu telapak tangannya. Di sini tidak ada ketentuan mengenai jumlah jari yang harus diperlihatkan. Namum salah seoang pemain hanya memperlihatkan satu telapak tangannya , karena dia yang bertugas menghitung seluruh jumlah jari terakhir dengan hitungan dari jan sampai keeper. Bila saja jari yang belum terhitung, hitungan dimulai dari jan lagi. Misalnya hitungan jari terakhir jatuh pada nak yang merupakan nama B, maka B dianggap pemenang pertama, dan tidak perlu ikut dalam penghitungan selanjutnya. Demikian seterusnya, hingga tinggal satu pemain yang tersisa, dan dijadikan sebagai tukang tebak (disebut diare)
Tahap II ( mengare), pemain yang bertugas mengare diurutkan dari yang paling dahulu dianggap menang. Cara mengare adalah sebagai berikut : pemain yang di-are duduk berhadapan dengan pemain yang mengare (B). B kemudian menyanyikan lagu” Arebang” sambil mengangkat kedua tangannya untuk diletakkan di samping kepala. Lagu dilanjutkan dengan ji, bersamaan dengan itu B meletakkan tangannya dilutut si diare sambil mengacungkan salah satu jarinya. Bersamaan dengan itu, si diare juga mengacungkan salah satu jarinya, dan apabila jarinya sama dengan jari yang diacungkan oleh B, maka B harus berhenti mengare. Namun bila diare tidak berhasil menebaknya, maka si B melanjutkan mengarenya dengan lagu “ji abang loro”. Bila belum berhasil menebak lagi, iringan lagu dilanjutkan sampai nga bang sepuluh “.
Bila masih belum berhasil menebak juga, maka tahap III adalah wayangan. Cara mengadakan wayangan sebagai berikut : B menyanyikan lagu “gung gung dang gentak gendang”. Pada waktu kata “dang gentak”’ B mengangkat salah satu tangannya dan ditirukan oleh diare. Ketika kata “gendang”, B memegang salah satu anggota tubuh diare, misalnya telinga, hidung, atau perut. Hal ini ditirukan juga oleh diare. Dengan demikian, selesailah tugas B mengare si diare, dan dilanjutkan oleh pemain lainnya sesuai urutan menang untuk mengare. (sumber: Blog Permata Nusantara)
28. Soyang
Soyang adalah permaian tradisional anak-anak yang menampilkan dialog seorang simbok (ibu, mungkin seorang janda) dengan beberapa orang anak dan seorang yang kaya dengan sebutan lurah. Karena kemiskinannya, sang ibu mencoba menyerahkan anak-anaknya kepada lurah yang kaya untuk ngenger (numpang) sebagai pembantunya. Permainan soyang merupakan salah satu permainan yang prosesnya melatih anak-anak untuk belajar bahasa Jawa dengan bermacam-macam stratifikasinya, sehingga dalam permainan ini anak-anak dapat melatih diri untuk menggunakan bahasa tata krama secara bebas dengan teman-teman sebayanya.
Permainan soyang dalam prosesnya terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah adegan penyerahan anak-anak si embok kepada lurah. Penyerahan anak masing-masing dilakukan satu demi satu yan masing-masing diiringi lagu:
"soyang, soyang, mbathik plangi dul Semarang, ya ya Bu, ya ya Pa,manuk Endra, kawan atus jawan dasa, e kawula ngenger, ngengerake, sandhang pangan luru dhewe"
Lagu dinyanyikan hingga anak-anak si embok habis. Setiap lagu soyang selesai dinyanyikan, si mbok dan anak-anaknya lalu jongkok di hadapan lurah, dengan sebuah dialog yang intinya penyerahan anak-anak si embok kepada lurah.
Tahap kedua adalah kebalikan tahap pertama, yaitu adegan permintaan kembali oleh si embok kepada lurah atas anak-anak yang telah diserahkan tersebut. Sebelum si embok tadi memohon kepada kurah atas anak-anaknya mundur menyanyikan lagu soyang di hadapan lurah. Setelah lagu selesai dinyanyikan, si embok jongkok di hadapan lurah, dengan sebuah dialog yang intinya permintaan kembali anak-anak si embok dari lurah. Adegan ini berjalan berulang-ulang hingga anak-anak si embok habis.
29. Thuprok-Thuprok
Thuprok-thuprok adalah permainan yang menggunakan batok kelapa yang diinjak dan menggunakan seutas tali kendali. Thuprok-thuprok terbuat dari tempurung kelapa yang dibelah dua bagian dan dilubangi serta dihubungkan dengan seutas tali sepanjang 2 meter. Permainan ini dilakukan di dataran yang rata.
Permainan ini dimainkan sendiri oleh seorang pemain, jadi tidak dilombakan. Permainan dilakukan oleh anak laki-laki maupun perempuan dengan jumlah pemain yang tidak menentu. Thuprok-thuprok memerlukan arena yang agak luas dan datar sebab pemain beresiko untuk jatuh. Cara menggunakan alat ini adalah dengan cara menginjak tempurung kelapa tersebut dan kemudian melangkah seperti orang berjalan sehingga menimbulkan bunyi seperti langkah kuda. Fungsi tali adalah untuk menjaga keseimbangan dan kemudahan dalam melangkah.
30. Watu Gatheng
Watu Gatheng adalah permainan anak-anak yang menggunakan batu kerikil berukuran sama dan rata berjumlah 5 buah. Arena berukuran 0,5 x 0,5 m di atas tanah atau di lantai. Permainan ini dilakukan oleh 4 orang. Mereka duduk mengitari tempat permainan. Kemudian urutan pemain ditentukan oleh hompimpah atau pingsut. Pemain yang menang melakukan permainan (saku). Mula-mula kelima watu gatheng digenggam di tangan kanan, salah satu batu yang digenggam dilempar ke atas sambil mengambil empat batu yang bertebaran di tanah sebelum batu yang dilempar ke atas itu jatuh menyentuh tanah. Jika batu gagal diambil semua atau menyenggolnya maka pemain berada dalam posisi dan digantikan oleh pemain lainnya. Langkah kedua disebut garo, pemain melempar sebuah batu dan pemain mengambil dua buah batu bersamaan. Apabila gagal berarti mati, tetapi apabila berhasil maka permainan diteruskan. Tahap selanjutnya adalah galu, gapuk, umbul, garuk, dulit, dan sawah..