Jawa Tengah adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Jawa. Ibu kotanya adalah Semarang. Provinsi ini Memiliki kebuadyaan yang beragam, termasuk berbagai jenis permainan tradisiolalnya. Di Jawa Tengah, Permainan disebut juga dalam bahasa daerahnya adalah dolanan.
Berikut ini kami sampaikan beberapa permainan tradisional dari daerah Propinsi Jawa Tengah (Jateng) lengkap dengan sejarah, cara bermain, dan gambarnya:
Ancak-Ancak Alis adalah sebuah permainan tradisional anak-anak Jawa sebagai sarana untuk menciptakan rasa riang gembira, selain itu juga sebagai sarana sosialisasi dan internalisasi sebuah pengetahuan penting dalam kehidupan dunia agraris, yaitu pengetahuan tentang cara dan proses budidaya penanaman padi.
Permainan ancak-ancak alis, mula-mula anak-anak berkumpul untuk bermain bersama, memainkan permainan ancak-ancak alis. Antara anak-anak tersebut dipilih dua orang anak, untuk berperan menjadi lawang seketeng (pintu/ gapura belakang). Cara pemilihan dua orang anak tersebut bisa dilakukan secara aklamasi dengan keputusan bersama atau dilakukan secara berundi, hompimpa.
Setelah itu, jika sudah mendapatkan dua anak yang terpilih untuk menjadi gapura pintu belakang, sebut A dan B, dua anak tersebut berdiri berhadapan kedua tangannya diacungkan ke atas, kemudian kedua telapak tangannya ditepuk-tepukkan, disentuhkan telapak tangan lawan. Telapak tangan kanan bertepuk dengan telapak tangan kiri lawan, dan sebaliknya. Sementara itu, anak-anak yang lain (sebut C dan kawan-kawan) diandaikan sebagai iring-iringan orang desa yang akan pergi ke sawah. Mereka berdiri beriringan, urut dari depan ke belakang, dengan tangan masing-masing memegangi pinggang atau punggung anak yang berada di depannya. Sedangkan anak yang berada pada posisi paling depan, dengan posisi tangan berkacak pinggang. Selanjutnya A dan B mendendangkan tembang ancak-ancak alis yaitu:
"Ancak-ancak alis, si alis kebo janggitan, anak-anak kebo dhungkul, si dhungkul kapan gawene, tiga rendheng, cengenceng gogok beluk, unine pating cerepluk. ula sawa ula dumung gedhene saklumbung bandhung, sawahira lagi apa?"
Sedangakan C dan kawan-kawan berjalan beriringan menerobos kurungan tangan A dan B. Setelah menerobos terowongan, C dan teman-temannya berbelok ke kanan, mengitari anak yang menjadi tiang gapura sisi kanan (A), kemudian masuk ke terowongan lagi lalu berbelok ke kiri, mengitari anak yang menjadi tiang gapura sisi kiri (B), terus masuk ke terowongan lagi, lalu berbelok ke kanan kembali mengitari tiang gapura sisi kanan untuk memasuki gapura lagi, begitu seterusnya. Perjalanan iringiringan C dan teman-temannya seolah-olah membentuk angka delapan, mengelilingi A dan B secara bergantian. Ketika syair tembang sampai pada akhir bait, sampai pada kalimat pertanyaan “sawahira lagi apa” (sawahnya sedang apa), perjalanan C dan teman-teman berhenti, kemudian terjadi dialog sebagai berikut:
C dan teman-teman: Dhog...dhog...dhog...dhog, njaluk lawang (mengetuk....minta pintu)
A dan B: Arep menyang ngendi? (mau ke mana)
C dan teman-teman: Menyang sawah (ke sawah)
A dan B: Sawahe lagi apa (sawahnya sedang apa)
C dan teman-teman: Lagi ngluku (sedang membajak)
Selanjutnya A dan B kembali mendendangkan tembang ancak-ancak alis, sedangkan C dan teman-teman kembali beriring-iringan masuk ke terowongan tangan A dan B, berjalan berbelok ke kanan atau ke kiri, membentuk angka delapan seperti sebelumnya. Setelah lagu habis, C dan teman-teman kembali berhenti di depan pintu gapura (A dan B), selanjutnya kembali berdialog seperti sebelumnya. Bedanya, dalam akhir pertanyaan dari A dan B “sawahira lagi apa” (sawahmu sedang apa), dijawab oleh C dan teman-teman ”lagi ngluku” (sedang membajak); “lagi nggaru” (sedang menggaruk meratakan lahan”. Begitu seterusnya, setiap ditanya “sawahira lagi apa”, jawabannya diurutkan: “lagi nyebar” (sedang menebar benih); ”lagi ndhaut” (sedang mencabut bibit); “lagi tandur” (sedang tanam); “lagi nglilir” (sedang mulai hidup); “lagi ijo” (sedang menghijau); “lagi matun” (sedang menyiangi); “lagi meteng” (sedang bunting); “lagi nyanguki” (mulai muncul kuncup bunga); “lagi mecuti” (bakal bulis padi sudah melengkung tapi belum mekar); “lagi ambrol” (sedang berbunga merata); “lagi njebut” (sedang mekar bunga); “lagi mratak” (bakal buah sudah merata); “lagi temungkul” (bulir padi mulai merunduk); “lagi bangcuk” (padi menguning pada ujung bulir); “lagi kuning” (padi sudah menguning); “lagi tuwa” (padi sudah tua); “lagi nyajeni” (saat memberi sesaji). Ketika sampai pada jawaban “lagi nyajeni” (sedang memberi sesaji), C dan teman-teman pura-pura akan pergi ke pasar.
Tembang yang didendangkan ganti lagu II yaitu: Menyang pasar kadipaten leh-olehe jadah manten, menyang pasar Kadipala leh-olehe apa.
Pada saat itu A dan B membuat kesepakatan rahasia tentang pilihan oleh-oleh yang akan ditanyakan kepada C dan teman-teman, misalnya, A adalah gelang B adalah kalung, A buah B roti, A jadah B wajik, dan sebagainya, yang hanya diketahui oleh A dan B. Pada akhir tembang II, ketika sampai pada kalimat “leh-olehe apa” (buah tangannya apa), tangan A dan B saling berpegangan lalu diturunkan untuk mengurung siapa pun yang berada tepat di hadapannya. Anak yang terkurung tersebut kemudian dibisiki, disuruh memilih di antara dua jenis ‘buah tangan’ yang sudah ditetapkan oleh A dan B. Seandainya dua pilihan tersebut adalah “gelang apa kalung”, jika anaknya memilih ‘gelang’, selanjutnya ia menjadi pengikut A, disuruh berdiri di belakang A. Jika memilih ‘kalung’, ia menjadi pengikut B, disuruh berdiri di belakang B. Begitu seterusnya hingga rombongan petani tinggal satu orang. Setelah tembang habis, pada saat A dan B mengurung anak terakhir, terjadi dialog demikian: A dan B: Dikekuru dilelemu dicecenggring digegering. Dadi kidang lanang apa kidang wedok. Yen kidang lanang mlumpata, yen kidang wedok mbrobosa. (dibuat kurus dibuat gemuk dibuat sengsara dibuat sakit. Menjadi kijang jantan atau kijang betina. Kalau kijang jantan melompatlah, kalau kijang betina menyusuplah). (sumber: id.wikipedia.org)
2. Bakiak beregu
Bakiak (Jawa Tengah) Bangkiak (Jawa Timur) atau Terompa Galuak (Sumatra Barat) adalah sejenis sandal yang telapaknya terbuat dari kayu yang ringan dengan pengikat kaki terbuat dari ban bekas yang dipaku di kedua sisinya. Benda ini sangat populer karena murah terutama di masa ekonomi sulit sedangkan dengan bahan kayu dan ban bekas membuat bakiak tahan air serta suhu panas dan dingin.
Bakiak beregu adalah terompah deret dari papan bertali karet yang panjang. Permainan ini menggunakan sebuah alas kaki (Sendal) yang terbuat dari kayu berukuran panjang untuk dipakai oleh beberapa orang sekaligus.
Permainan bakiak ini sebenarnya permainan tradisional anak-anak di Jateng. Permainan ini membutuhkan beberapa orang untuk membentuk satu grup yang akan bertanding dengan grup lainnya.
Mereka harus memakai bakiak dan berjalan selaras, berbarengan dari garis start hingga ke garis finish. Permainan ini bertujuan untuk membangun hubungan kerjasama dan kekompakan antar anggota di dalam tim agar dapat berjalan seirama. Umumnya, lomba bakiak beregu diadakan saat perayaan hari kemerdekaan Indonesia 17 Agustus.
3. Bangun Duduk
Bangun duduk adalah salah satu permainan tradisional dari daerah Jawa Tengah, Permainan ini dimainkan anak laki-laki maupun perempuan dengan jumlah pemainnya minimal 3 orang.
Dari permainan bangun duduk ini dapat diambila manfaat misalnya untuk mengisi waktu luang. Pada masa lalu, banyak anak-anak yang mengisi waktu luang mereka dengan bermain ini. Selain itu manfaat lainnya adalah melatih Kecepatan, karena dalam permainan ini diharuskan untuk berlari.
Untuk memulainya, semua pemain harus mengikuti “hom pim pah”, yang kalah akan menjadi penjaga. Permainan dimulai dengan pemain yang menang memulai mengganggu yang kalah. Penjaga/pemain yang kalah harus berhasil mengejar teman yang menang dan menyentuhnya, apabila berhasil maka pemain yang disentuh giliran jaga tetapi syaratnya pemain yang disentuh harus dalam posisi berdiri karena apabila dalam posisi duduk (jongkok) maka pemain tidak bisa disentuh dan penjaga harus mencari teman lain yang tidak jongkok.
Selama permainan, setiap pemain yang menang harus waspada. Bila sudah terlalu dekat dengan penjaga harus segera lari atau duduk. Dan pemain yang sudah jongkok tidak bisa asal berdiri, pemain harus menunggu disentuh teman lain yang tidak jongkok (bebas), bila semua pemain jongkok maka pemain jaga harus menghitung dan saat itu semua pemain harus berdiri lagi dan mulai main seperti awal.
4. Bentengan
Permainan bentengan sangat dikenal oleh hampir seluruh provinsi di Indonesia, tak terkecuali di daerah Jawa Tengah. Permainan ini dimainkan oleh dua kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 4-10 orang. Setiap kelompok memiliki sisi yang dijadikan sebagai 'benteng', bisa berupa tembok, tiang, atau pohon. Karena menggunakan aktivitas fisik, permainan ini membutuhkan area bermain yang luas.
Dalam bermain Bentengan, setiap anggota punya peran dan tugas masing-masing, ada yang menjadi penyerang, pemain bertahan, dan ada juga yang bertugas sebagai pengalih.
Tujuan akhir dari Bentengan adalah dengan menyentuh benteng lawan. Kelompok yang menjadi pemenang adalah mereka yang lebih dulu menggapai benteng lawan. Selain itu, kemenangan juga bisa diraih dengan menangkap seluruh anggota lawan dengan cara menyentuh bagian tubuh mereka.
5. Bhentik/Bentik (Gatrik)
Benthik adalah salah satu permainan rakyat yang biasanya dimainkan oleh anak-anak. Untuk memainkannya diperlukan dua ranting kayu yang berukuran panjang sekitar 30 cm (disebut “benthong”), dan yang berukuran pendek sekitar 10 cm (disebut “janak”). Pada umumnya, antara benthong dan janak memiliki diameter yang sama, yaitu sekitar 1 cm; bahkan umumnya benthong dan janak diambil dari ranting dengan jenis pohon dan batang yang sama. Saat kedua ranting ini beradu (dipukulkan) maka muncul suara “thik ... thik”, sehingga berdasarkan proses onomatope permainan ini disebut “Benthik”. Ranting panjang dipergunakan untuk memukul ranting yang lebih pendek.
Benthik diawali dengan membuat lowakan atau ceruk kecil di tanah tempat janak akan diletakkan, posisinya melintang di atasnya. Permainan benthik diawali dengan hompimpa. Yang menang, maka akan memperoleh giliran main yang pertama. Sedangkan pihak yang kalah jaga.
Nyuthat - Selanjutnya, pemain memasang tongkat yang pendek diatas lubang luncur secara melintang. Lalu, tongkat janak harus didorong sekuat tenaga dengan bantuan benthong, supaya dapat melambung sejauh mungkin. Dalam bahasa Jawa, ini disebut dengan istilah nyuthat. Bila lawan berhasil menangkap janak yang melambung tersebut, maka ia akan mendapatkan angka. Pihak lawan biasanya akan berusaha mati-matian untuk dapat menangkap janak, agar mendapatkan angka sebelum gilirannya untuk bermain.
Besarnya angka ditentukan dari cara pihak lawan menangkap janak; 10 angka untuk menangkap dengan kedua tangan, 25 angka untuk menangkap dengan tangan kanan saja, dan 50 angka apabila berhasil menangkap dengan tangan kiri saja.
Namplek - Tahap kedua dari permainan benthik adalah ”Namplek”. Pada tahap ini, konsentrasi penuh diperlukan. Pemain harus melempar tongkat pendek ke udara terlebih dahulu, lalu dipukul sekuat tenaga dengan tongkat panjang sejauh mungkin. Pihak lawan yang jaga harus melempar tongkat pendek ke arah sang pemain. Di sini, ketangkasan sang pemain benar-benar diuji apakah mampu memukul balik tongkat pendek atau tidak.
Penghitungan poin bagi sang pemain dilakukan dari tempat jatuhnya tongkat pendek ke lubang menggunakan tongkat panjang. Semakin jauh tongkat pendek jatuh, maka semakin banyak angka yang akan didapatkan.
Nuthuk - Tahap ketiga benthik disebut ”Nuthuk”. Pada tahap ini, pemain harus meletakkan tongkat pendek pada lereng lubang luncur dengan posisi miring 45 derajat. Ia harus memukul ujung tongkat pendek yang menyembul ke permukaan tanah dengan tongkat panjang agar dapat mengudara, lalu dipukul lagi sejauh mungkin.
Biasanya, sang pemain akan mendapatkan kesempatan kedua, bila pukulan pertama tidak berhasil. Jika ternyata masih gagal lagi, maka giliran bermain jatuh ke tangan pihak lawan. Akan tetapi, dalam tahap ketiga ini, sang pemain berkesempatan untuk mengumpulkan poin sebanyak-banyaknya yang ditentukan oleh berapa kali ia memukul tongkat pendek. Nah, tahap ini merupakan kesempatan untuk mengejar ketertinggalan angka atau untuk bisa memenangkan permainan. Kecekatan berhitung para pemain pun dituntut di sini. Bila sang pemain berhasil memukul tongkat pendek saat tongkat tersebut melayang di udara, maka ia memperoleh multiple poin yang dihitung dari perkalian antara angka pengkali berdasarkan jumlah pukulan (10 poin untuk satu kali pukulan, 20 poin untuk dua kali pukulan, dan seterusnya) dengan poin yang dihitung dari tempat jatuhnya tongkat pendek ke arah lubang. Sebagai ilustrasi, seorang pemain berhasil memukul tongkat pendek dua kali, maka ia memperoleh angka pengkali sebesar 20 poin, sedangkan jarak jatuhnya tongkat pendek ke lubang adalah 15 kali tongkat panjang. Maka total poin yang ia kumpulkan dalam tahap ini adalah 20x15=300. Cukup besar bukan? Ketiga tahap permainan Benthik tersebut akan diulangi dari awal dalam beberapa kali putaran sesuai kesepakatan diantara para pemainnya. Pemain yang menang adalah yang berhasil mengumpulkan poin terbanyak dalam ketiga tahap di atas. Yang tak kalah menarik di sini adalah adanya hukuman bagi yang kalah, misalnya kewajiban menggendong pemain yang menang oleh pemain yang kalah dari satu tempat ke tempat lainnya.
6. Bola Bekel
Bola bekel merupakan permainan yang dikenal pula di daerah Jaw tengah, Permainan tradisional ini biasanya dimainkan oleh anak perempuan dengan jumlah pemain 3 sampai 5 orang. Peralatan yang dibutuhkan untuk permainan ini adalah bola karet yang memiliki warna atau motif menarik, dengan ukuran kira-kira sebesar bola pingpong. Selanjutnya dibuthkan pula biji bekel yang terbuat dari kuningan sejumlah 10 biji dan memiliki 4 sisi yang berbeda.
Cara bermain:
- Tahap pertama: genggam bola dan biji bekel menjadi satu dan lempar setinggi kurang lebih 30 cm. Setelah bola tersebut turun dan memantul, lepas biji bekel dalam posisi acak. Kemudian lempar kembali bola, lalu ambil biji beket satu per satu, dua-dua, tiga-tiga, dan seterusnya hingga habis.
- Tahap kedua, ulangi tahap pertama kemudian balikkan posisi biji bekel hingga menghadap ke atas atau sering dikenal dengan istilah rumah. Setelah itu, balik posisi biji menjadi tengkurap.
- Tahap ketiga, ubah kembali posisi biji bekel, ulangi tahap pertama. Kali ini ubah posisi biji bekel hingga sisi yang halus menghadap ke atas. Tahap terakhir, ubah kembali posisinya hingga sisi yang halus menghadap ke bawah.
Permainan bola bekel akan dinyatakan selesai, saat tangan pemain menyentuh biji bekel selain yang sedang ia ambil. Pemain yang lebih dulu menyelesaikan permainan, dialah yang pemenangnya.
7. Cublak-Cublak Suweng
Cublak-cublak Suweng adalah salah satu permainan disertai lagu pengiring yang dinyanyikan. Lagu pengiring dalam permainan ini berjudul sama dengan nama permainan itu sendiri yaitu cublak-cublak suweng. Permainan tradisional cublak-cublak suweng biasa dimainkan oleh anak-anak kecil di pedesaan dari Pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan juga Jawa Timur.
Dalam permainan ini diawali dengan hompimpa atau gambreng untuk menentukan siapa yang kalah pertama kali. Setalah itu ia yang kalah akan berperan menjadi Pak Empong, yang berbaring terlungkup ditengah dan anak-anak yang lain akan duduk melingkari Pak Empong. Kemudian mereka yang melingkari Pak Empong membuka telapak tangan menghadap ke atas dan diletakkan di punggung Pak Empong. Lalu ada salah satu anak memegang biji/kerikil dan dipindah dari telapak tangan satu ke telapak tangan lainnya diiringi lagu Cublak-cublak Suweng.
Lirik:
Cublak-cublak suweng
Suwengé ting gelèntèr
Mambu ketundhung gudèl
Pak Empong léra-léré
Sapa ngguyu ndhelikaké
Sir, sir pong dhelé kopong
Sir, sir pong dhelé kopong
Pada lirik lagu "sapa ngguyu ndhelikaké" merupakan pertanda biji/kerikil harus segera disembunyikan oleh anak yang menerimanya dalam genggaman. Pada akhir lagu, semua anak menggenggam kedua tangan masing-masing, berpura-pura menyembunyikan kerikil, sambil menggerak-gerakkan tangan. Pak Empong bangun dan menebak di tangan siapa biji/kerikil disembunyikan. Bila tebakannya benar, anak yang menggenggam biji/kerikil bergantian menjadi Pak Empong. Bila salah, Pak Empong kembali ke posisi semula dan permainan diulang lagi.
8. Congklak
Congklak adalah suatu permainan tradisional yang dikenal dengan berbagai macam nama di seluruh Indonesia. Biasanya dalam permainan, sejenis cangkang kerang digunakan sebagai biji congklak dan jika tidak ada, kadang kala digunakan juga biji-bijian dari tumbuh-tumbuhan dan batu-batu kecil.
Di Jawa, permainan ini lebih dikenal dengan nama congklak, dakon, dhakon atau dhakonan. Di beberapa daerah di Sumatra yang berkebudayaan Melayu, permainan ini dikenal dengan nama congkak. Di Lampung, permainan ini lebih dikenal dengan nama dentuman lamban, sedangkan di Sulawesi permainan ini lebih dikenal dengan beberapa nama: Mokaotan, Maggaleceng, Aggalacang dan Nogarata.
Permainan congklak dilakukan oleh dua orang. Dalam permainan mereka menggunakan papan yang dinamakan papan congklak dan 98 (14 x 7) buah biji yang dinamakan biji congklak atau buah congklak. Umumnya papan congklak terbuat dari kayu dan plastik, sedangkan bijinya terbuat dari cangkang kerang, biji-bijian, batu-batuan, kelereng atau plastik. Pada papan congklak terdapat 16 buah lubang yang terdiri atas 14 lubang kecil yang saling berhadapan dan 2 lubang besar di kedua sisinya. Setiap 7 lubang kecil di sisi pemain dan lubang besar di sisi kananya dianggap sebagai milik sang pemain.
Pada awal permainan setiap lubang kecil diisi dengan tujuh buah biji. Dua orang pemain yang berhadapan, salah seorang yang memulai dapat memilih lubang yang akan diambil dan meletakkan satu ke lubang di sebelah kanannya dan seterusnya berlawanan arah jarum jam. Bila biji habis di lubang kecil yang berisi biji lainnya, ia dapat mengambil biji-biji tersebut dan melanjutkan mengisi, bila habis di lubang besar miliknya maka ia dapat melanjutkan dengan memilih lubang kecil di sisinya. Bila habis di lubang kecil di sisinya maka ia berhenti dan mengambil seluruh biji di sisi yang berhadapan. Tetapi bila berhenti di lubang kosong di sisi lawan maka ia berhenti dan tidak mendapatkan apa-apa.
Permainan dianggap selesai bila sudah tidak ada biji lagi yang dapat diambil (seluruh biji ada di lubang besar kedua pemain). Pemenangnya adalah yang mendapatkan biji terbanyak. (sumber: Wikipedia)
9. Dhingklik/Dingklik oglak-aglik
Dhingklik/Dingklik oglak-aglik adalah satu jenis permainan tradisional anak-anak yang cara memainkannya meniru suatu bentuk bangku (dhingklik) yang digunakan untuk duduk, yang keadaannya tidak stabil sehingga akan mudah goyah (oglak-aglik). Permainan ini dimainkan minimal oleh 3 anak dalam satu kelompok yang seusia, sama besar, dan sama tinggi, agar dapat menjaga keseimbangan suatu bentuk dhingklik yang oglak aglik. Di Jawa Barat terdapat permainan yang mirip dengan Dingklik yaitu
Pérépét jéngkol.
Tahap permainan:
- Tahap pertama, semua pemain berdisi berhadap-hadapan dengan tangan saling bergandengan. Misalkan pemain tersebut adalah A, B, C, dan D tahap kedua, B dan C menerobos (mbrobos) di bawah lengan A dan B, sehingga para pemain berdiri dengan saling bertolak belakang dan tangan tetap bergandengan.
- Tahap kedua, setiap peserta mengangkat salah satu kakinya ke arah dalam lingkaran, kemudian masing-masing kaki saling dikaitkan untuk membentuk suatu posisi yang kokoh sehingga tidak akan mudah jatuh.
- Tahap terakhir, tangan yang saling bergandengan dilepaskan, lalu kedua tangan bertepuk tangan. Para pemain melonjak-lonjak sambil bertepuk menyanyikan lagu : Pasang dhingklik oglak-aglik, yen kecelik adang gogik, yu yu mbakyu mangga dhateng pasar blanja, leh olehe napa, jenang jagung enthok-enthok jenang jagung, enthok-enthok jenang jagung, enthok-enthok jenang jagung. Lirik lagu ini dinyanyikan sepanjang permainan. Tidak menutup kemungkinan, kaitan kaki sudah terlepas ketika lagu belumselesai dinyanyikan, maka selesai sudah permainan ini.
Meskipun permainan ini tidak memerlukan perlengkapan apa pun untuk menunjang jalannya permainan, namun memerlukan tempat yang cukup luas agar terjadi keseimbangan dan kekompakan diantara para pemain dalam membentuk dhingklik.
10. Egrang (Enggrang)
Egrang (Enggrang) adalah permaianan anak-anak yang menggunakan sepasang galah atau tongkat yang digunakan seseorang agar bisa berdiri dalam jarak tertentu di atas tanah. Di Jawa Barat, Egrang dikenal dengan nama
Jajangkungan.
Cara memainkan : Kedua kaki menginjak titian yang terdapat pada masing masing bambu, kemudian langsung dibgunakan untuk berjalan.
Enggrang dibuat dari dua batang kayu atau bambu yang panjangnya masing-masing sekitar dua meter. Kemudian sekitar 50cm dari alas bambu/kayu tersebut dilubangi lalu dimasukkan bambu dengan ukuran 20-30cm atau dipakukan kayu yang berfungsi sebagai pijakan kaki. Permainan ini membutuhkan konsentrasi yang tinggi. Untuk itu diperlukan kehati-hatian agar tidak terjatuh.
11. Engklek
Engklek adalah salah satu permainan dari Jawa Tengah yang dimainkan dengan menggambar garis di atas tanah atau media lain. Permainan Engklek juga merupakan salah satu permainan yang sangat di gemari oleh kalangan perempuan. Permainan engklek juga dikenal di daerah lain, Di Provinsi Banten dikenal dengan nama
Jingklong, Di Aceh namanya
Ingke.
Cara bermain - Peserta permainan ini melompat menggunakan satu kaki disetiap petak-petak yang telah digambar sebelumnya di tanah.
Untuk dapat bermain, setiap anak harus berbekal gacuk yang biasanya berupa sebentuk pecahan genting, yang juga disebut kreweng, yang dalam permainan, kreweng ini ditempatkan di salah satu petak yang tergambar di tanah dengan cara dilempar, petak yang ada gacuknya tidak boleh diinjak / ditempati oleh setiap pemain, jadi para pemain harus melompat ke petak berikutnya dengan satu kaki mengelilingi petak-petak yang ada.
Pemain yang telah menyelesaikan satu putaran terlebih dahulu, berhak memilih sebuah petak untuk dijadikan "sawah" mereka, yang artinya di petak tersebut pemain yang bersangkutan dapat menginjak petak itu dengan kedua kaki, sementara pemain lain tidak boleh menginjak petak itu selama permainan. Peserta yang memiliki kotak paling banyak adalah yang akan memenangkan permainan ini.
12. Gasing
|
Gasing Sragen |
Gasing (atau juga disebut Gangsing) adalah mainan yang bisa berputar pada poros dan berkesetimbangan pada suatu titik. Gasing merupakan mainan tertua yang ditemukan di berbagai situs arkeologi dan masih bisa dikenali. Selain merupakan mainan anak-anak dan orang dewasa, gasing juga digunakan untuk berjudi dan ramalan nasib.
Sebagian besar gasing dibuat dari kayu, walaupun sering dibuat dari plastik, atau bahan-bahan lain. Kayu diukir dan dibentuk hingga menjadi bagian badan gasing. Tali gasing umumnya dibuat dari nilon, sedangkan tali gasing tradisional dibuat dari kulit pohon. Panjang tali gasing berbeda-beda bergantung pada panjang lengan orang yang memainkan.
Di Jawa Tengah, khususnya di Demak, biasanya gasing dimainkan saat pergantian musim hujan ke musim kemarau.
13. Gobak Sodor
Gobak sodor atau galah asin adalah sejenis permainan daerah dari Indonesia. Permainan ini adalah sebuah permainan grup yang terdiri dari dua grup, di mana masing-masing tim terdiri dari 3 - 5 orang. Inti permainannya adalah menghadang lawan agar tidak bisa lolos melewati garis ke baris terakhir secara bolak-balik, dan untuk meraih kemenangan seluruh anggota grup harus secara lengkap melakukan proses bolak-balik dalam area lapangan yang telah ditentukan.
Permainan ini biasanya dimainkan di lapangan bulu tangkis dengan acuan garis-garis yang ada atau bisa juga dengan menggunakan lapangan segiempat dengan ukuran 9 x 4 m yang dibagi menjadi 6 bagian. Garis batas dari setiap bagian biasanya diberi tanda dengan kapur. Anggota grup yang mendapat giliran untuk menjaga lapangan ini terbagi dua, yaitu anggota grup yang menjaga garis batas horisontal dan garis batas vertikal. Bagi anggota grup yang mendapatkan tugas untuk menjaga garis batas horisontal, maka mereka akan berusaha untuk menghalangi lawan mereka yang juga berusaha untuk melewati garis batas yang sudah ditentukan sebagai garis batas bebas. Bagi anggota grup yang mendapatkan tugas untuk menjaga garis batas vertikal (umumnya hanya satu orang), maka orang ini mempunyai akses untuk keseluruhan garis batas vertikal yang terletak di tengah lapangan. Permainan ini sangat mengasyikkan sekaligus sangat sulit karena setiap orang harus selalu berjaga dan berlari secepat mungkin jika diperlukan untuk meraih kemenangan.
14. Gundu (Kelereng)
Permainan gundu atau kelereng merupakan permainan tradisional Jawa yang hingga kini masih cukup sering dimainkan. Permainan ini mempunyai banyak sekali variasi, namun yang paling sering dimainkan adalah permainan gundu lingkar.
Cara bermain:
- Pertama-tama dibuatlah gambar lingkaran kecil di tanah. Semua anak menaruh sebutir kelereng di dalam lingkaran.
- Lalu semua anak berdiri kira-kira satu meter dari lingkaran, di belakang sebuah garis. Secara bergantian, lemparkan sebutir kelereng lainnya ke arah lingkaran. Anak yang kelerengnya paling jauh dari lingkaran, boleh main lebih dulu.
- Dia harus memakai kelereng yang ada di luar lingkaran sebagai “Penyerang” untuk memukul kelereng di dalam lingkaran keluar. Kalau berhasil melakukannya, maka ia boleh menyimpan setiap kelereng yang kena jentik.
- Cara menjentik kelereng: pertemukan ibu jari dengan jari tengah. Sentilkan kedua jari tepat pada gundu.
- Kelereng “Penyerang” harus tetap tinggal di dalam lingkaran. Kalau tidak, maka anak yang memilikinya akan kehilangan kelereng tersebut.
- Pemenang adalah anak yang mengumpulkan kelereng atau gundu terbanyak.
15. Jamuran
Jamuran adalah permainan yang berasal dari Pulau Jawa. Jamuran bisa dimainkan anak-anak yang berjumlah 4-12. Jamuran biasanya diadakan di waktu sore dan malam saat Bulan Purnama. Anak-anak yang ikut bermain umurnya diantaranya 6 sampai 13 tahun. Bermain jamuran bisa dimainkan oleh anak lelaki, anak perempuan atau campuran.
Cara bermain
Contohnya yang bermain berjumlah 10 orang (A, B, C, D, E, F, G, H, I, J), lalu diundi dengan (bahasa Jawa: Pingsut), siapa yang kalah akan jadi. Contohnya yang jadi J, lalu A, B, C, D, E, F, G, H, I membentuk barisan yang berbentuk lingkaran, memutari J yang ada di tengah. Lalu A sampai I tadi berjalan berputar memutari J, sambil menyanyikan lagu jamuran.
Cara bermainnya, satu orang mejadi pancer ( pusat ), dan pemain yang lainnya bergandengan tangan membentuk lingkaran mengelilingi pancer tersebut. Mereka berjalan berputar, mengelilingi pancer sambil bernyanyi. Lagunya adalah :
Jamuran
Jamuran ya gégé thok
Jamur apa ya gégé thok
Jamur gajih mbejijih sa ara-ara
Sira mbadhé jamur apa
Kemudian sang pancer menjawab jenis jamur sesuka hatinya. Misalnya sang jamur menjawab jamur payung, maka para pemain harus berdiri tegak dengan tangan terbuka. Kemudian sang pancer menggelitik ketiak mereka satu persatu, apabila salah seorang dari mereka tidak tahan, dia berganti menjadi pancer. Misalnya lagi setelah bernyanyi jamuran, dan sang pancer menjawab jamur kethek nenek yang artinya jamur monyet sedang memanjat, maka para pemain lainnya harus segera lari mencari pohon untuk tempat memanjat. Kemudian sang pancer menangkap salah seorang pemain yang tidak memanjat atau belum sempat memanjat, dan yang tertangkap tersebut berganti menjadi pancer. Di dalam istilah Jawa, sang pancer disebut juga bocah sing dadi ( anak yang jadi ).
16. Jaranan (jaranan dengan gedebog / pelepah pisang)
Seni Jaranan ialah jenis kesenian Kuda Lumping mulai muncul sejak abad ke 10 Hijriah di wengker atau Ponorogo saat ini. Jaranan pada zaman dahulu adalah selalu bersifat sakral. Maksudnya selalu berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya gaib. Selain untuk tontonan dahulu jaranan juga digunakan untuk upacara-upacara resmi yang berhubungan dengan roh-roh leluhur keraton. Pada zaman kerajaan dahulu jaranan sering kali ditampilkan di keraton.
Anak anak di Jawa tengan suka sekali bermain Jaranan ala mereka. jaranan yang digunakan adalah yang terbuat dari pelepah daun pisang. Cara membuatnya:
- Pelepah pisang yang cukup tua dan potong pangkalnya lalu dbuang daunnya, dan sisakan daun yang ada di ujungnya untuk ekor.
- Kerat ujung pangkalnya berbentuk V (25-30 cm dari ujungnya), lalu lipat ujungnya pada batas V.
- Ikat bagian ujung sehingga membentuk kepala kuda menggunakan serat dari batang pohon pisang kering
- Sebelum ikatan dikencangkan, sayat sedikit kiri-kanan dekat keratan bentuk V untuk membuat telinganya. Tarik dan kencangkan ikatan
- Kuda-kudaan dirapihkan (potong ujung mulutnya jika terlalu panjang) dan siap dipakai.
- Lipat pelepah untuk tempat duduk, dari kepala kuda kebawah dengan panjang secukupnya dan dari ekor kuda kebawah dengan panjang secukupnya
- Siapkan tali dengan panjang secukupnya, diikat di bawah kepala kuda dan diikat dibawah ekor, sebagai pegangan. Kuda lumping siap dipakai.
17. Kasti atau Gebokan
Gebokan adalah nama salah satu permainan dari Jawa Tengah. Permainan gebokan dilakukan oleh 2 kelompok yang memakai bola tenis sebagai alat untuk menembak lawan serta tumpukan batu untuk disusun. Siapapun yang sukses menumpuk batu tersebut dengan cepat tanpa terkena pukulan bola adalah kelompok yang memenangkan permainan.
Permainan ini diawali dengan menentukan kelompok mana yang bakal menjadi penjaga awal serta kelompok yang dikejar dengan suit. Kelompok yang menjadi penjaga wajib segera meringkus bola secepatnya seusai tumpukan batu rubuh oleh kelompok yang dikejar. Jika bola sukses menyentuh lawan, maka kelompok yang anggotanya tersentuh bola menjadi penjaga tumpukan batu.
18. Lompat Karet
Permainan Lompat Tali adalah permainan tradisional yang hampir ada di seluruh indonesia. Permainan tradisional yang satu ini terbilang sangat sederhana. Hanya dengan seutas tali, anak-anak dapat tertawa bahagia dengan teman seusianya. Permainan Tali ini tidak membutuhkan biaya banyak untuk memainkannya. Biasanya dimainkan oleh anak perempuan.
Permainan ini dapat dilakukan ditempat yang memiliki ruang cukup luas, seperti di halaman rumah, halaman sekolah dan sebagainya. Peralatan yang dibutuhkan untuk permainan ini hanya membutuhkan seutas tali dengan ukuran panjang tali melihat dari berapa banyak pemain.
Untuk ukuran normalnya dengan minimal 5 pemain dibutuhkan panjang tali kurang lebih 3 meter. Untuk tali yang digunakan bisa terbuat dari karet gelang yang disambung sampai memanjang. Jumlah pemain untuk memainkan permainan tali tidak ada batasan. Jumlah minimal pemain untuk permaian ini ada 3 pemain. Permainan ini dimainkan dengan cara memutar seutas tali yang dilakukan oleh dua anak di setiap ujung talinya. Pada saat tali diputar pemain secara bergiliran masuk dan melompat dalam putaran tali. Pemain dinyatakan kalah jika gagal melewati putaran tali. Pemain yang gagal melewati putaran tali maka harus bergantian dengan pemain yang bertugas menjadi pemutar tali.
19. Petak Umpet
Petak umpet adalah permainan anak internasional yang dikenal sebagai delikan di Jawa. Di Indonesia, orang Sunda menyebutnya
Ucing Sumput. Di Jawa, petak umpet bisa dilakukan dengan melibatkan minimal dua pemain, meski bakal lebih seru jika melibatkan lebih dari tiga orang.
Permainan diawali dengan undian denghan hompimpa untuk menentukan siapa yang menjadi penjaga benteng sekaligus pencari pemain lain yang bersembunyi.
Kemudian penjaga benteng menutup mata dan menghitung sesuai kesepakatan, pemain lain mulai mencari tempat aman untuk bersembunyi.
Begitu hitungan selesai, penjaga mulai mencari pemain yang ndelik (bersembunyi), saat menemukan pemain lain yang ditemukan dia harus segera menuju benteng sembari meneriakkan nama pemain itu. Masing-masing daerah di Jawa punya sebutan sendiri saat tangan menyentuh benteng.
Penjaga harus beradu lari dengan pemain yang ketahuan, karena kalau pemain tiba lebih dulu, dia lolos dari kemungkinan menjadi penjaga selanjutnya. Penjaga harus mencari semua pemain atau menyerah dan mengatakannya keras-keras.
Pemain yang "tertangkap" penjaga kemudian melakukan hompimpa untuk menentukan siapa penjaga selanjutnya. Begitu seterusnya! Permainan baru selesai ketika hari menjelang senja.
20. Petil Lele/ Patek Lele
Petil Lele / Patil Lele / Patek Lele / Gatrik adalah permaian yang memakai alat dari dua potongan kayu atau bambu berukuran sekitar 30 cm dan yang satunya berukuran lebih kecil untuk dipukul ke arah lawan. Gatrik atau di daerah lain sisebut tak kadal, atau benthi merupakan salah satu permainan tradisional yang dimainkan oleh anak-anak secara kelompok. Tiap kelompok terdiri dari 2 orang sampai 4 orang dengan menggunakan alat dari dua potongan bambu yang berbeda ukuran.
Dua kelompok terdiri dari kelompok pemukul dan kelompok penangkap. untuk menentukan pemenangnya dilihat dari skor yang di dapat oleh salah satu regu baik penangkap maupun pemukul. Permainan dimulai dengan kelompok pemukul memukul batang bambu yang kecil dan terlempar, kemudian penangkap harus mampu/berhasil menangkap batang bambu yang di pukul oleh sipemukul.
Jika bambu yang terlempar tidak bisa ditangkap maka sang pemukul mendapat nilai. Jika si penangkap berhasil menangkap bambu kecil itu maka, mereka harus bertukar tempat. Permainan ini terdiri dari tiga babak permainan, yaitu : Untuk menentukan tim yang lebih dulu bermain sebagai pemukul, kita bisa melakukan suit, atau melemparkan kayu Gatrik pendek ke landasan di atas batu. Siapa yang melemparnya lalu masuk atau paling dekat dengan batu landasan, akan menjadi tim pemukul.
Babak Pertama - menyilangkan Gatrik pendek di atas batu dan didorong ke arah depan agak ke atas menggunakan Gatrik panjang. Tim penangkap akan menjaga lemparan Gatrik pendek, jika berhasil tertangkap maka giliran akan berganti. Jika tidak bisa menangkap, masih ada satu kesempatan lagi dengan melemparkan Gatrik pendek ke Gatrik panjang. Bila kena, tim penangkap akan berganti menjadi tim pemukul. Bila tidak mengenai Gatrik panjang, maka kita masuk babak kedua.
Babak Kedua - Gatrik panjang dipegang dengan posisi mendatar, kemudian gatrik penbdek diletakkan di ujungnya. Lalu Gatrik panjang diayunkan ke atas agar gatrik pendek terlempar ke udara (atas), saat itulah gatrik panjang secepatnya dipukulkan ke gatrik pendek yang masih dalam posisi melayang di udara ke arah tim penjaga. Bila tertangkap, tim penjaga mempunyai peluang untuk bermain Gatrik. Bila tidak, tim penjaga melemparkan Gatrik pendek mendekati batu landasan, agar tim pemukul tidak mempunyai jarak per Gatrik pendek untuk mendapatkan nilai.
Babak kediga - adalah apa yang disebut patil lele, letakkan gatrik pendek di atas bata/ batu seperti pada babak pertama. Kemudian dengan menggunakan gatrik panjang mencongkel gatrik pendek ke arah dengan atas atas dengan kekuatan kecil, saat gatrik pendek berada di udara (yang jaraknya tidak jauh dari kayu pemukul yang panjang) maka dengan secepatnya dipukul dengan gatrik panjang ke arah penangkap.
Tim penangkap tetap bertugas menangkap Gatrik pendek. Bila tidak tertangkap, tim pemukul akan meneruskan permainan dengan memukul ujung Gatrik yang pendek Gatrik pendek di atas tanah (seperti memukul bola golf tapi sambil kaki mengangkang). Dalam memukul Gatrik pendek, dilakukan secara estafet (jika pemain ke-1 gagal memukul, diganti pemain ke-2, dst.). Jarak yang diukur dengan Gatrik pendek itu menentukan kemenangan tim. Tim yang menang biasanya akan dihadiahi oleh tim yang kalah dengan diakod (digendong) dengan jarak sesuai jauhnya Gatrik pendek yang dipukul.
21. Soyang
Soyang adalah permaian tradisional anak-anak yang menampilkan dialog seorang simbok (ibu, mungkin seorang janda) dengan beberapa orang anak dan seorang yang kaya dengan sebutan lurah. Karena kemiskinannya, sang ibu mencoba menyerahkan anak-anaknya kepada lurah yang kaya untuk ngenger ( numpang ) sebagai pembantunya. Permainan soyang merupakan salah satu permainan yang prosesnya melatih anak-anak untuk belajar bahasa Jawa dengan bermacam-macam stratifikasinya, sehingga dalam permainan ini anak-anak dapat melatih diri untuk menggunakan bahasa tata karma secara bebas dengan teman-teman sebayanya.
Permainan soyang dalam prosesnya terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah adegan penyerahan anak-anak si embok kepada lurah. Penyerahan anak masing-amsing dilakukan satu demi satu yang masing-masing diiringi lagu soyang "soyang, mbathik plangi dul Semarang, ya ya Bu, ya ya Pa,manuk Endra, kawan atus jawan dasa, e kawula ngenger, ngengerake, sandhang pangan luru dhewe" hingga anak-anak si embok habis. Setiap lagu soyang selesai dinyanyikan, si mbok dan anak-anaknya lalu jongkok dihadapan lurah, dengan sebuah dialog yang intinya penyerahan anak-anak si embok kepada lurah.
Tahap kedua adalah kebalikan tahap pertama, yaitu adegan permintaan kembali oleh si embok kepada lurah atas anak-anak yang telah diserahkan tersebut. Sebelum si embok tadi memohon kepada kurah atas anak-anaknya mundur menyanyikan lagu soyang di hadapan lurah. Setelah lagu selesai dinyanyikan, si embok jongkok di hadapan lurah, dengan sebuah dialog yang intinya permintaan kembali anak-anak si embok dari lurah. Adegan ini berjalan berulang-ulang hingga anak-anak si embok habis. (sumber:
Website Dinas Kebudayaan DIY )